Jumat, 27 Juni 2014

Ramadhan pertama tanpa bapak....

Ramadhan tahun ini adalah ramadhan pertama tanpa bapak. Jadi ingin menulis tentang bapak. Betapa banyak pelajaran darinya.

Bapak adalah seorang ideolog, warga muhammadiyah biasa namun sangat teguh memegang prinsip organisasi. Bahkan berhenti merokoknya pun karena fatwa haram rokok dari Muhammadiyah.

Bapak adalah lelaki cerdas, berfikir taktis, praktis, namun juga siap saja jika harus ber-strategis. Seorang pendidik yang meletakkan nalar dan logika dasar sebagai pilar belajar. Belajar bersamanya, kami jadi mudah memahami epistimologi. Spirit dari belajar. Mampu membuat aku merasakan demikian indahnya belajar. Belajar itu (saat itu) seperti berdiri di puncak gunung, dengan pemandangan yang indah, tatapan luas, dan udara segar. Teramat menyukai belajar hingga nyaris tak pedulikan nilai ujian. Yang penting belajar. Bapaklah yang mengajarkan untuk tetap mendengarkan pelajaran dari depan kelas, walaupun diusir guru keluar kelas. Atau menikmati saja saat dihukum berdiri di depan kelas, yang penting tetap ikut belajar. Bapak marah besar saat seorang kakak disuruh pulang hanya karena lupa membawa dasi. "Apakah karena dasi kita harus kehilangan kesempatan untuk belajar?"

Bapak adalah seorang rekan diskusi yang asyik, bisa berbincang dengan kami hingga ganti hari. Sangat egaliter dalam berbincang. Bahkan kami pernah berbeda pendapat, sampai aku harus membanting gelas. Belajar darinya kami jadi mengerti betul tabiat diskusi yang efektif untuk menangkap makna dan pemahaman.

Bapak juga seorang sahabat yang hangat saat dekat dan selalu paham apa yg tersirat. Seperti saat aku demikian suka bermain panah, lalu membuat panah dari bambu, suatu hari aku kehilangan panahku, bapak hanya tersenyum sambil menunjuk panah besar dan kokoh yang dipajang rapih di dinding rumah. Dengan tali busur yang indah dan terikat rapi. Dia membuatkannya untukku. Aku sangat bahagia. Bapak juga yang rela melobangi lantai rumah untuk membuat lubang golf, dan membuat stick golf dengan patahan kaki kursi. Kami merasa diistimewakan.

Bapak adalah seorang yang berhati hati saat ada hak orang lain masuk ke kantongnya, namun sebaliknya sangat mudah merelakan saat ada hak dia yang terampas orang lain. Pernah seperangkat sound system yang kami yakin dia sangat menyukainya, tiba-tiba dia berikan kepada seorang kerabat, hanya karena dia memintanya. Dia memang lelaki baik yang dengan ringan memberikan barang yang disukainya kepada orang yang lebih membutuhkan.

Bapak pernah rela berjalan berkilo-kilo hanya untuk memberikan kelebihan uang kembalian, ia takut menjadi dholim atas hak orang. Padahal saat itu, kami sedang di Jakarta, dan untuk mencari warung tempat kami harus kembalikan uang kembalian itu kami harus bertanya-tanya dan berjalan kaki karena tak dilewati angkutan umum.

Suatu hari saat hari penerimaan raportku, bapak ke sekolah dengan pakaian rapi. Seingatku waktu itu dia kenakan sepatu, hal yang jarang dia lakukan. Di perjalanan, kami temui parit samping jalan meluap, kami turun dari angkot, bapak segera melepas sepatunya, lalu masuk ke parit untuk mengangkat sampah dan batu yang membuat air meluap. Cukup lama. Aku sempat khawatir akan terlambat ke sekolah. Setelah dewasa, baru paham. Ini tentang fiqh Auliyat. Skala prioritas. Dan masyarakat/ummat selalu ditempatkan bapak di posisi yang utama.

Tentang waktu untuk masyarakat, jadi ingat, bahwa bapak adalah pak RT terlama. Entah sudah puluhan tahun menjadi pamong masyarakat. Rumah kami sudah lama nyaris kehiangan aura privacy. Siapa pun akan merasa nyaman keluar masuk rumah ini. Bahkan pernah, saat kami berbincang di ruang tamu, seorang yang entah gila atau pengemis masuk dari pintu depan, lalu bablas ke pintu belakang. Kami hanya berpandangan... "Lho tadi siapa ya?"

Bapak. Bagaimana pun juga, kami pasti rindu. Ramadhan tahun ini kami jalani tanpamu di rumah ini.

Tidak ada komentar: